Sabtu, 20 Juni 2009

Kerajaan-Kerajaan di Kab. Tanah Bumbu

KERAJAAN KUSAN ( KUSAN HULU )
Pada Abad ke 18 Kerajaan Banjar dipimpin oleh Sultan Tahmidillah I yang pada masa mudanya bernama Pangeran Muhammad di Keraton Martapura, tepatnya memerintah pada tahun 1778-1785. Dari beliau ini lahir 3 orang putra bernama Pangeran Rahmad, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir.
Ketika Sultan Tahmidillah I mangkat, pimpinan kerajaan diserahkan sementara kepada saudara Sultan Tahmidillah I, yaitu Pangeran Wiranata. Suatu ketika putra mahkota Pangeran Abdullah dan adiknya Pangeran Rahmat terbunuh, mengetahui akan adanya bahaya yang sedang mengancam, akhirnya Pangeran Amir segera meninggalkan istana dengan dalih akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah, akan tetapi Pangeran Amir mempunyai maksud dan siasat lain, ia pergi ke wilayah Pagatan dan Pasir di Kalimantan Tenggara, kemudian menetap di daerah Kusan Hulu.
Sekitar tahun 1787 Pangeran Amir dengan dibantu 3.000 Pasukan Bugis dari Kalimantan Tenggara yang gagah berani menyerang Keraton Martapura. Terjadilah pertempuran yang hebat dan menjatuhkan banyak korban, adapun pihak Pangeran Nata yang merasa terancam akhirnya minta bantuan pada pihak Kompeni Belanda di Banjarmasin, dengan perjanjian sebagai balas jasa dari pihak Belanda yang pintar dan licik bahwa, “ Apabila Sultan Tahmidillah II dengan gelar Panembahan Batu ( Pangeran Nata ) menang, maka seluruh Tanah Banjar akan diserahkan kepada Belanda, sedangkan sultan sendiri hanya akan “meminjam“ sebagian dari wilayahnya untuk melaksanakan pemerintahan”. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1787. Perjanjian tersebut sangat menarik hati Belanda, sehingga penguasa Belanda waktu itu Residen Walbeck dengan sepenuh hati akhirnya mengirimkan pasukan bersenjatanya (senjata Api) yang dipimpin Kapten Christoffel Hofman.
Akhirnya Pasukan Bugis yang membantu Pangeran Amir dapat dikalahkan, sedangkan Pangeran Amir sendiri ditawan oleh Belanda dan pada tahun 1789 diasingkan ke Ceylon (sekarang bernama Srilangka) hingga akhir hayatnya. Dengan perjanjian perang ini akhirnya Belanda mulai mencengkramkan kukunya untuk menindas Rakyat Banjar.
Pada awal abad ke19, Pangeran Nasohot (Pangeran Mas’ud) putra Pangeran Amir menikah dengan Gusti Hadijah Putri Sultan Sulaiman Saidullah Raja Banjar setelah Pangeran Nata. (Putra Pangeran Nata) Gusti Hadijah merupakan saudara seayah dengan Sultan Adam Raja Banjar.

Nama-nama Raja Kusan Hulu
a. Pangeran Amir. 1785-1789
b. Pangeran Nasohot (Pangeran Mas’ud)
c. Pangeran Haji Musa (masih saudara seayah dengan Gusti Hadijah dan Sultan Adam dari ayahanda Sultan Sulaiman,)
d. Pangeran Mohammad Napis
e. Pangeran Abdullah Kadir Kesuma (Raja Kusan dan Pulau Laut).
Adanya tekanan-tekanan dari Pemerintahan Kolonil Belanda akhirnya pindah ke daerah Sigam “Pulau Laut“. Penerusnya adalah Pangeran Brampi Kesuma, Pangeran Amir Husin Kesuma dan yang terakhir tahun 1900-1901 adalah Pangeran Mohammad Amirullah Kesuma memerintah di Daerah Sigam Pulau Laut. Kerajaan Kusan dijadikan satu dengan Kerajaan Pagatan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1861.

KERAJAAN SEBAMBAN
Kerajaan Sebamban dibangun oleh Pangeran Syarif Ali Al-Iderus pada sekitar awal abad ke 18, ayah Pangeran Syarif Ali bernama Syarif Abdurrahman Al-Iderus seorang ulama keturunan Arab yang datang ke Nusantara untuk menyebarkan agama Islam.
Pada sekitar abad 16 terjadi perpindahan masyarakat Banjar dari sekitar wilayah Kerajaan Banjar ke wilayah lain, baik lewat darat (melintasi pegunungan meratus) maupun lewat sungai dan lautan dengan menggunakan perahu. Peristiwa ini terjadi karena adanya kericuhan di kalangan keluarga Kerajaan Banjar yang saling memperebutkan tahta dan dimana akhirnya rakyat yang mendapat imbas buruk dari semuanya. Dari mereka yang pergi menggunakan perahu, sebagian besar keluar Muara Barito menuju ke arah selatan sepanjang pesisir laut Kalimantan Selatan lalu mampir di setiap muara sungai di sepanjang pesisir bahkan ada yang masuk hingga ke Hulu Sungai, dan hal ini juga terjadi pada sungai-sungai di daerah Kecamatan Sungai Loban, seperti Sebamban dan Sungai Dua Laut serta Sungai Cuka. Nama Desa Sebamban diambil dari nama sungai yang mengaliri daerah tersebut (berdasarkan keterangan tokoh masyarakat setempat), yaitu Sungai Bamban yang kemudian oleh masyarakat setempat disebut Sei Bamban dan selanjutnya berubah menjadi Sebamban yang akhirnya menjadi nama bagi sekitar kawasan tersebut.
Adanya sistem pemerintahan di kawasan Sebamban belum diketahui sejak kapan dimulai, namun dalam tatanan masyarakat Banjar di sepanjang pesisir dan alur sungai kawasan ini terus berkembang seiring dengan datangnya pengembara dari Sulawesi, serta ulama-ulama Banjar dan Matan (Kalimantan Barat).
Syarif Abdurrahman Al-Iderus menyebarluaskan agama Islam, hingga tiba di Kerajaan Banjar, Syarif Abdurrahman Al-Iderus diterima dengan baik oleh Raja Banjar, kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Adam Al Wasyiku Billah yang bernama Putri Saribanon, kemudian memiliki seorang putra bernama Syarif Ali Al-Iderus. Setelah dewasanya Syarif Ali Al-Iderus dinikahkan dengan saudara perempuan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kaderi di Pontianak. Pulang dari Pontianak, Syarif Ali meneruskan perjuangan ayahandanya untuk menyebarluaskan agama Islam, hingga akhirnya tiba di sebuah muara sungai yang bercabang dan kemudian berlabuh di sana, Syarif Ali yang merasa tertarik terhadap wilayah tersebut kemudian berjalan menyusuri pesisir sungai tersebut hingga akhirnya tiba di Lok Basar (dalam Basar). Selanjutnya membangun tempat tinggal di daerah tersebut. Suburnya daerah tersebut dengan bumi dan hutan belantara yang sangat banyak menyimpan kekayaan alam yang melimpah ruah, hingga akhirnya mengundang para pendatang dan perantau untuk menetap.
Banyak pendatang dan perantau yang datang, menetap dan terus berkembang membuat daerah tersebut menjadi ramai. Syarif Ali sebagai pembuka daerah tersebut akhirnya diangkat sebagai pemimpin atau penguasa daerah.
Pada saat Pangeran Syarif Ali mulai menjadi penguasa di Sebamban, beliau menikah lagi dengan putri penguasa Batulicin bernama Putri Petta Walu’e dan memiliki 6 orang putra putri yaitu :
1. Pangeran Syarif Hamid (Raja Batulicin I)
2. Putri Qomariah
3. Pangeran Syarif M. Thoha ( Raja Batulicin II )
4. Pangeran Syarif Mustafa
5. Pangeran Syarif Ahmad
6. Putri Petta Bau

1. Masa Suram Kerajaan Sebamban
Terbukanya hubungan dagang dengan Kerajaan-Kerajaan di luar wilayah Kerajaan Sebamban seperti Kerajaan Pasir, Kerajaan Banjar dan Kerajaan Johor, membuat Kerajaan Sebamban yang kaya akan hasil bumi ini menjadi incaran Pemerintah Kolonial Belanda yang terlebih dahulu sudah bercokol di beberapa Kerajaan di wilayah Nusantara.
Pada sekitar tahun 1850-an Belanda mulai masuk dan berada di wilayah Kerajaan Sebamban. Secara perlahan tanpa adanya kekerasan akhirnya Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan di Kerajaan Sebamban ini. (Dari nara sumber: tidak dijelaskan politik yang bagaimana telah digunakan Belanda, namun sejak Tahun 1850-an keluarga Kerajaan mulai menyebar ke berbagai daerah di sekitar wilayah Tanah Bumbu).

2. Bukti–Bukti Peninggalan Sejarah
a. Dua buah meriam
Ceritra rakyat tentang 2 buah meriam ini adalah ; berawal ketika sepasang suami istri yang sudah agak tua tiba dari arah sungai dengan menggunakan sebuah perahu kecil dan membawa 2 buah meriam yang di bungkus kulit kayu. Oleh sang suami 2 buah meriam itu kemudian ditawarkan kepada Pangeran Syarif Ali seharga 4 rupiah sesuku.
Pangeran Syarif Ali menawar kedua meriam itu seharga 2 rupiah sesuku, dan disetujui oleh pasangan suami istri. Atas permintaan Pangeran Syarif Ali, satu meriam diletakkan di Muara dan satunya di depan Soraja (tempat tinggal Pangeran Syarif Ali). Ketika meletakan 2 meriam pada posisinya pasangan suami istri masing-masing membawa 1 meriam diangkat dengan sebelah tangan.

b. Sisa-sisa Pondasi Tiang Pancungan
Dalam menerapkan ajaran dan syari’ah-syari’ah Islam di kalangan masyarakat yang mayoritas contohnya penganut Animisme dan Hindu, Pangeran Syarif Ali benar-benar mengenalkan sangsi hukum Islam.
Hal ini dapat di buktikan dengan terdapatnya sebuah pondasi tiang pancungan di daerah Pantai Penyiputan.

c. Sisa Bangunan Istana (Soraja)
Soraja atau tempat kediaman raja yang dibangun oleh Pangeran Syarif Ali terdapat di Sungai Kampung lama yaitu di sekitar cabang Sungai Sebamban yang dulunya diberi nama Lok Basar atau Dalam Basar.
Pada saat Belanda mulai masuk di wilayah ini dengan akal liciknya kemudian berhasil membuat kalangan keluarga Kerajaan tidak betah berada di tempat atau kediamannya sendiri. Satu persatu keluarga kerajaan meninggalkan istana hingga akhirnya Istana atau Soraja tidak lagi ditempati dan terabaikan dan sekarang yang tertinggal hanya puing-puing tiang bangunan, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1850. Adapun lokasi dimana dermaga tempat sandar kapal Pangeran Syarif Ali sekarang sudah menjadi perusahaan perkebunan sawit.

3. Turunan Raja-raja Sebamban
-Pangeran Syarif Ali Al- Iderus.
-Pangeran Syarif Hasan Al-Iderus.
-Pangeran Syarif Kasim Al-Iderus.

KERAJAAN PAGATAN.
Kerajaan Pagatan di Pagatan dibangun oleh orang-orang Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan, diawali dengan terjadinya perang saudara di Sulawesi pada sekitar tahun 1670, yaitu ketika Arung Palaka, raja Bone menyerbu Wajo atas alasan balas dendam ketika ia berperang dengan Gowa (ketika itu Raja Wajo ikut membantu Kerajaan Gowa yang masih ayah dan anak saat terjadi konplik dengan Kerajaan Bone). Waktu itu Raja Bone Arung Palaka lari ke Buton kemudian ke Batavia minta bantuan Belanda.
Adanya dukungan Belanda di pihak Raja Bone sudah berhasil mengalahkan Kerajaan Wajo, hingga akhirnya orang Bugis Wajo mengungsi terpencar ke berbagai daerah. Ada yang ke Makassar kemudian membangun Kampung Wajo di sana. Ada yang ke Sumbawa, Bima, Pasir, Banjarmasin, Kutai dan Donggala, di setiap tempat yang ditinggali atau didiami orang-orang Bugis Wajo selalu mengangkat seorang pemimpin yang bergelar “MACOA” atau “MATOA”.
Di dalam satu tulisan karangan Dr. Eisenberger ada disebutkan, “ In 1750 Pagatan Word Gesticht Door Boeginezen”. Artinya pada tahun1750 Pagatan dibangun oleh orang Bugis. Menurut C. Nagtegaal, De voormalige Zelfbesture Noe En Gouvernements Landschappen In Zuid-Oost Borneo (Utrecht : N. V. A. Oosthoek’s Uitgevers-Maatschappij, 1939) dan Lontara Kapitan La Mattone (seorang Manteri Kerajaan Pagatan dan Kusan yang ditulis tanggal 21 Agustus 1868). “ Pedagang Bugis dari Wajo Sulawesi Selatan datang/tiba di Pagatan pada pertengahan abad ke 18 yang dipimpin oleh Puanna Dekke”.
Menurut catatan Lontara, Puanna Dekke berlayar dari Sulawesi Selatan menuju Pasir mencari pemukiman. Setiba di Pasir Puanna Dekke merasa kurang berkenan, maka perjalanan diteruskan dengan menyusuri daerah Tanah Bumbu hingga akhirnya menjumpai sebuah muara sungai dan selanjutnya Puanna Dekke menyusuri alur sungai menyelidiki dengan teliti hingga bertemu beberapa orang masyarakat Banjar yang bekerja membersihkan rotan. Puanna Dekke menanyakan tentang nama daerah tersebut dan termasuk dalam wilayah kerajaan mana? Orang itu menjawab bahwa nama daerah ini adalah “ Pamagatan” (maksudnya tempat pembersihan dan pemotongan rotan) dan termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar. Ketertarikan Puanna Dekke akan daerah ini membawa Puanna Dekke ke Ibukota Kerajaan Banjar, dipimpin Sultan Kuning bergelar Panembahan Batu yang tidak lain adalah Nataalam atau Panembahan Kaharuddin Halilullah. Ia menyampaikan maksud mohon izin menempati dan bermukim di daerah tersebut. Panembahan menanggapi, “Baiklah, kalau anda sanggup mengeluarkan biaya, karena daerah tersebut adalah hutan belantara dan pangkalan tempat persinggahan orang-orang jahat atau Bajak Laut (lanun). Puanna Dekke kembali bertanya, “Bagaimana nanti sekiranya kami telah mengeluarkan biaya?”, Panembahan menjawab, “Kalau anda telah mengeluarkan biaya sampai daerah tersebut menjadi kampung, maka anda wariskan kepada anak cucu anda, dan tidak ada yang dapat mengganggu-gugatnya, karena anda telah mengeluarkan biaya”. Kemudian dilakukan serah terima secara lisan antara Panembahan Batu dengan Puanna Dekke.
Sekembalinya Puanna Dekke, diperintahkannya menebas dan menebang hutan belantara untuk dijadikan perkampungan yang diberi nama “Pegattang” belakangan berubah menjadi Pagatan. Kemudian datang saudaranya dari Pontianak bernama Pua Janggo, Kakeknya Pua Ado La Pagala menggabungkan diri. Kedua bersaudara berunding dan sepakat untuk menjemput cucunya di Tanah Bugis.
Pua Janggo Bertolak ke Tanah Bugis menjemput cucunya bernama La Pangewa turunan anak Raja di Tanah Bugis (Daerah Kampiri/Wajo) untuk dibawa ke Pagatan. Setelah dikhitan dan dikawinkan, La Pangewa dinobatkan menjadi Raja Pagatan (Raja Pagatan I).
Ketika Pangeran Muhammad Aminullah Ratu Anum Bin Sultan Kuning atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Anom memblokade (mengganggu arus lalu lintas) Muara Banjarmasin, menghalang-halangi dan menahan perahu-perahu pedagang yang masuk ke Banjarmasin. Berita itu didengar oleh Puanna Dekke yang segera memerintahkan cucunya La Pangewa menemui Panembahan di Banjarmasin. Setiba di Banjarmasin, La Pangewa diberi tugas untuk menggempur Pangeran Anom hingga Pangeran Anom beserta pengikutnya mengundurkan diri ke Kuala Biyajo (Kuala Kapuas). Sedangkan La Pangewa masuk kembali ke Banjarmasin menemui Panembahan dan melaporkan hasil tugasnya. Atas keberhasilan La Pangewa diberi Gelar Kapiten Laut Pulo (Pulau Laut) oleh Panembahan.
Tiba waktunya La Pangewa bermohon diri pulang ke Pagatan. Panembahan bertanya, “Apakah ada (perlengkapan atau persediaan) Anda yang kurang Kapiten?”
Kapiten menjawab tegas :”Kami tidak ada kekurangan sesuatu apapun !”
Berkata Panembahan, ”Sekarang ini menyatakan lagi (kutegaskan lagi) kepada anda Kapiten, Adapun Pagatan Daerah yang sudah kuserhakan pada kakek anda, dan pada waktu sekarang ini anda lagi yang memiliki Pagatan, maka milikilah untuk diwariskan kepada anak cucu anda tiada ada yang mengganggu gugat anak cucu anda tinggal di Tanah Pagatan.”
Demikian Tanah Pagatan kokoh tidak tergugat ditempati turunan Raja-Raja Pagatan dan rakyatnya sampai masa sekarang ini

1. Nama-nama Raja Yang Pernah Berkuasa di Pagatan
-La Pangewa (Hasan) Kapiten Laut Pulau beristrikan I Walena ( Petta Coa )
-La Palebi (Abdurrahman) 1830-1838
- La Mattunru
- La Mattunru (Abdul Karim) Beristrikan Petta Pele-engngi Bintana tahun 1855-1863
- La Makkarau tahun 1863-1871
- Abdul Jabar tahun 1871-1875
- Ratu Senggeng (Daeng Mangkau) Menikah dengan Aji Semarang (Pangeran Muda Arif Billah) Raja Cantung turunan dari Raja Sampanahan (Tanah Bumbu) tahun 1875-1883
- H. Andi Tangkung (Petta Ratu) dengan Daeng Mahmud (Pangeran Mangkubumi) tahun 1883-1893
- Andi Sallo (Arung Abdul Rahim) 1893-1908

2. Masa Pemerintahan Kerajaan di Pagatan
Sistem Pemerintahan Kerajaan di Pagatan dihapuskan pada tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads 1912 No. 312 oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, hal ini merupakan sebuah rangkain peristiwa yang diawali pada masa pemerintahan Sultan Adam di Kerajaan Banjar.
Pada tanggal 11 Juni 1860 Komisaris Pemerintahan Belanda yang membawahi Kerajaan Banjar. T.N. Nieuwenhiuzen. Memproklamasikan penghapusan Kerajaan Banjar, penghapusan Kerajaan Banjar menimbulkan gejolak perlawanan diberbagai kalangan masyarakat, baik dari kalangan Bangsawan maupun yang dipimpin oleh para Pemimpin Agama. Hal ini berlangsung hingga tahun 1905.
Dengan timbulnya gejolak lapisan masyarakat di kerajaan Banjar inilah yang memungkinkan beberapa Kerajaan kecil yang secara Formal Politis berada dibawah Yuridikasi Kerajaan Banjar masih tegak berdiri hingga pergantian abad XIX ke XX, dan staatblads 1903 No. 179 yang diberitahukan pada tanggal 1 Januari 1905, Kerajaan- Kerajaan kecil di wilayah Tanah Bumbu kecuali Kerajaan Pagatan. Kusan dan Pasir telah di hapuskan dan langsung masuk wilayah Pemerintahan Belanda, adapun mengenai Kerajaan Pagatan dan Kusan barulah dihapuskan sejak tanggal 1 Juli 1912 dengan Staatblads No. 312.01.

3. Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan di Pagatan
- Makam para raja-raja di Desa Pasar Lama Kelurahan, Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu.
- Sisa Bangunan Istana Raja (Soraja) di Kota Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Ka-bupaten Tanah Bumbu.
- Beberapa buah stempel Kerajaan Pagatan (tersimpan di Museum Lambung Mangkurat, Banjarbaru).
- Catatan sejarah berdirinya Kerajaan Pagatan (Lontara) oleh Kapiten La Mattone (Menteri Kerajaan Pagatan dan Kusan) di terjemahkan oleh Andi Usman dibantu M. Jabir Akil, dari bahasa Bugis ke-bahasa Indonesia

KERAJAAN BATULICIN
Seperti halnya proses timbulnya kerajaan Pagatan, Kerajaan Batulicin juga timbul akibat adanya gejolak di Sulawesi, hingga Masyarakat Bugis banyak yang pergi merantau mencari tempat yang baru, pada saat La Ma’doekelleng-Aroeng Panekki tiba di pasir, diwilayah Kalimantan Selatan Tenggara sudah terdapat masyarakat Bugis termasuk Batulicin.
Berdasarkan catatan sejarah yang di terima dari berbagai pihak tokoh masyarakat Batulicin, penguasa Batulicin berasal dari kalangan keluarga Kerajaan Pasir, Pontianak serta masih satu keluarga dengan Penguasa Pagatan. Suatu ketika terjalin hubungan kekerabatan dengan turunan Raja Kusan di Tanah Bumbu yang juga merupakan keturunan penguasa Kerajaan Banjar yaitu Pangeran Kadir yang masih saudara seayah dengan Sultan Adam Al- Wasyiku Billah. Ayahanda Pangeran Kadir bernama Sultan Sulaiman dan Ibunda bernama Ratu Sepuh Gusti Pangeran Mangku, Raja Cengal. Ada catatan terputus yang diperoleh penulis setelah fase kekuasaan Pangeran Kadir dan Pangeran Arya Kesuma.
Selanjutnya kembali terjalin hubungan kekerabatan dengan Penguasa Sebamban yang masih keturunan Arab dan kerajaan Banjar yang baru tiba dari Pontianak serta kalangan keluarga Kerajaan Pagatan

1. Nama-nama Raja Batulicin
- Suami Istri Petta Matinro-e Ri Muala Mekkah
Seperti yang disampaikan sebelumnya diperkirakan Penguasa Batulicin ini merupakan keturunan Pangeran Kadir yang sudah membaur dengan keturunan Bugis Sulawesi dan Bugis Pasir serta Pontianak yang kemudian menetap di Batulicin, memiliki 2 orang Putri yaitu (1) Putri Petta Walu-e yang kemudian menikah dengan Pangeran Syarif Ali Al- Iderus di Sebamban. (2) Putri Petta Tonra.
- Pangeran Syarif Ali Al- Iderus (Raja Sebamban) yang memperistri Putri Petta Walu-e
- Pangeran Syarif Muhammad Taha, beristrikan Indo Muttajeng (Daeng Sangiang) Putri Raja Pagatan dan Kusan ke III/ Saudara Raja Pagatan dan Kusan ke IV, V dan VII.
- Pangeran Syarif Hamid
- Pangeran Syarif Abbas, Raja Batulicin terakhir.

2. Akhir Masa Pemerintahan
Dengan Staatblads 6 Februari 1903 No.19 Sistem Kerajaan Batulicin dinyatakan dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun pada kenyataannya kekuasaan Raja Batulicin sepenuhnya dihapus dan diambil alih pada tahun 1906, dengan ketentuan mendapat ganti rugi atau tidak lebih dari kenyataan mendapat grasi sebagai pihak yang berwenang di Batulicin sebesar 13.000 rupiah serta 250 rupiah per 3 bulan

3. Bukti Sejarah Kerajaan Batulicin
Tidak banyak bukti peninggalan Kerajaan Batulicin, kecuali makam keluarga kerajaan yang masih terawat hingga saat ini.
(sumber : cybernet & alfaphone pagatan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar