Jumat, 19 Juni 2009

Pudarnya Pesona Cleopatra


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan
aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana
adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu”
kata ibu.”Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan
besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian
tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan
dengan air mata ibu yang amat kucintai.

Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida
adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang
kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana
cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante
Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan
gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih
jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan
bibir yang merah.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit
cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin
memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan
datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan hiburan group rebana. Lantunan shalawat Nabipun
terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku
terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah
mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota

Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa
susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama
dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku
belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh
tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana
mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh
rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak
acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang
kerja.Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa,
Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka
diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum
dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga”.

Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “
kenapa mas memanggilku mbak, aku
kan istrimu, apa mas sudah tidak
mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam”
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa
mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap
bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk
menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”.
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup
seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya
untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas
kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji
dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa”
tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku
sedang menggodoknya,
lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua
pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara
sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk,
tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan
wedang jahe”. Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak
bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku
dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam,
minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas
jangan diam saja dong, aku
kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk
membantu Mas”. “Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas
dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambiltangannya melepas kaosku.
Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin
punggungku dengan sentuhan tangannya yanghalus. Setelah selesai dikerokin,
Raihana membawakanku semangkok buburkacang hijau. Setelah itu aku merebahkan
diri di tempat tidur. KulihatRaihana duduk di kursi tak jauh dari tempat
tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan
Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk
makan malam di istananya.”Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan
aku perkenalkan denganmu”kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk
mencarikannya seorang pangeran,aku melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00
aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik
sekali. Sang ratu mempersilakanakududuk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk,tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya”kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkanaku Mas, membuat Mas kurang suka,
tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hanasambil melepas mukenanya, mungkin
dia baru selesai sholat malam. Meskipuncuman mimpi tapi itu indah sekali,
tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus
harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat
baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana
sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara
dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri
belumpernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis
titisanCleopatra.” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua
keluarga akandatang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang
bareng,tidakenak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang”
Suara lembutRaihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas
wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
“Maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan
beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku… Dinda
Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya
Mas!”sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia
dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Terima kasih dinda, kita
berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil
menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan
wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. “Terima kasih
Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda
siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap
sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama
ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka
padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah,
lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki
diriku sendiri atas sikapdinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta
yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan
Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang
paling membenci diriku sendiri didunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kamidielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.
“Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal
dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan
ibundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut
pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana
lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta
yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti
yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar
hangat.Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga
kewibawaanku dimata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah
diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku
menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang
cucu” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
doakanlah kami. Bukankahbegitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut
lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, aku
mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra
dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan
atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua
demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai
seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua.
Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah
hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga
Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “
Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah
hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin
untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan
permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karenarumah mertua jauh dari
kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus
tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas untuk
menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada
di ATM. Aku taruh dibawah bantal, nomor pinnya sama dengan tanggal
pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku
tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya
bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.Tapi
toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di
Mesir.Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku
benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan
perutmual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku
dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi
aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen
mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab
dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam
pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab
dari
Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah
menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang
mana?. “Orang Jawa”. “Pasti orang yang baik ya. Iya
kan? Biasanya pulang
dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan
shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
“Kausangat beruntung, tidak sepertiku”. “Kenapa dengan Bapak?” “Aku
melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang
Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu
bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu
kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan
karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke
Mesirdengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang
Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulusdengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari

Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan
rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama
saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya
bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan
saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.
Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau
sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya
menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama
menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang
hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada
denganYasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk
menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin
menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali keMedan,
saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami
langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota
Medan. Tahun-tahun pertama
hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok
orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup
terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir,
tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak
setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian
berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir
milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan.
Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidupdengan tenang
dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisaberdakwah dengan
baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan.
Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan
masakan
Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya
dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak
penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta
Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapidia tidak mau. Dia malah
membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya
mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas
segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan
saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah,
yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya
menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke
Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. “Aku menyesal
menikah dengan orang
Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. KataYasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwatadi di KBRI dia bertemu
dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah
meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan.
Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya
dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang
membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim
surat yang berisi
berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu
saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan
surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau
meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku,
tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan
yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta
apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena
kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum
terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang
sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar
aku mencairkan tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took
baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian
bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut
kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk
mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu
kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat
cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat
surat cinta untuk istriku.
Jangan-jangan ini
surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila!
Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca
surat itu satu
persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana
yang selamaini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku,
meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa
dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan.
YaRabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana. Dalam
akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini
kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita
dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan
menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa
kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang
masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang
lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan
murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah
dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah
hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah
dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali
Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang
luarbiasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya
yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh
memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta.
Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk
dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta
Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihana tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat
dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk
membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring
dengan airmataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman
rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan
kuusap airmataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis
tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu
mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang
telahterjadi.” Raihana istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya”. “
Ada
apa dengan dia”. “Dia telah tiada”. “Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah
meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya
ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia
berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya
selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia.
Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta
kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar
padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus
seseorang untukmenjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.
Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak
ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat
sedih, Jadi maafkanlah kami”. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku
remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin
menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku
untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku
dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku
ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas
gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis
disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang
luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua

Sumber :Buku: Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun
Jiwa )

Karangan: Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat
cinta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar